Jalan Sunyi Petani

                                                   Ilustrasi CALON PETANI.  Sumber : di sini

Mengapa diberi judul Jalan Sunyi Petani ?
Mari kita rubah pertanyaan tersebut dengan "Siapa yang sungguh-sungguh peduli dengan nasib petani" ?


Adakah selain Petani itu sendiri ? ... Retoris banget ya ... ha ha :D

Dari realita yang saya amati, akhirnya saya mengambil kesimpulan begini:
Kalau memang kita memilih menjadi Petani sebagai pilihan hidup, maka kita harus siap mental.  Seorang calon Petani harus punya mental teguh dan berani berjalan sendiri menyusuri Jalan Sunyi.  Maka jika merasa tidak mempunyai prasarat itu, sebaiknya batalkan saja niat menjadi Petani.

  
Cerita tentang Indonesia sebagai negara agraris dengan letak geografis yang strategis, iklim yang mendukung, kaya akan sumber daya alam pendukung pertanian; seperti tanah yang subur, air melimpah, kekayaan hayati yang beraneka ragam, dan memiliki sumber daya manusia yang cerdas, saat ini perlu kita pertanyakan kembali.  

Gambaran Umum
Fakta yang kita alami saat ini adalah iklim yang sukar diprediksi, kekayaan hayati semakin berkurang, sumber daya alam pendukung pertanian yang makin menipis, suplai pangan yang tergantung dari negara lain, dan harus diakui generasi Indonesia sekarang masih kalah cerdas dan bermartabat dibanding dengan generasi Tan Malaka, Syahrir, Soekarno atau Hatta. Petani, sebagai profesi mayoritas selain buruh atau pekerja, termasuk golongan tidak mampu mengakses pendidikan tinggi. Dalam bahasa sederhana, bangsa ini telah bangkrut. Sumber daya alamnya habis, hutangnya banyak, tapi mayoritas masyarakatnya miskin dan bodoh. Akhirnya bangsa ini terbelit lingkaran setan: miskin – bodoh – tidak produktif, kemudian tambah miskin – bodoh dan seterusnya.  

Mencari Solusi Alternatif yang Logis & Realistis
Ketika kita mencoba merunut mengapa, bagaimana itu terjadi dan siapa yang bertanggungjawab, maka jawaban yang paling sering muncul adalah karena pemerintah salah mengelola bangsa ini. Pembangunan lebih ditekankan pada pertumbuhan ekonomi, namun manusianya (masyarakat) justru dijadikan obyek pembangunan. Pemerintah sebagai pemegang otoritas pengelolaan negeri ini, belum mampu – kalau tidak mau dikatakan belum mau untuk berpihak pada rakyat jelata, mungkin menganut sistem pro kapitalis.

Menyalahkan dan saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah. Langkah yang lebih penting setelah menemukan akar masalahnya adalah bagaimana mencari solusi alternatif yang tepat.  Jika pemerintah dan para penentu kebijakan publik negeri ini belum bisa diharapkan, maka solusi alternatif yang logis dan realistis adalah Petani harus mandiri !

Perjuangan menuju kemandirian Petani.
Kelemahan yang dimiliki generasi petani kita saat ini setidaknya ada tiga. Pertama, mengenai Teknis Pertanian. Pada tingkatan On-farm, generasi petani kita saat ini sudah kehilangan pengetahuan dan ketrampilan dalam menyediakan sarana produksi usaha tani secara mandiri. Pupuk, insektisida, herbisida, bahkan benihnya semuanya diperoleh dengan membeli alias tergantung pada pabrik yang notabene sebagian besar sahamnya milik bangsa asing. Padahal kita masih memiliki aneka ternak yang dapat mendukung usaha pertanian, seperti kerbau, sapi, kambing, unggas, bahkan di beberapa daerah ada hewan liar seperti kelelawar, yang kotorannya dapat diolah menjadi pupuk organik, yang ramah lingkungan. 

Memang belakangan ini muncul berbagai macam merek pupuk organik, yang relatif baik untuk lingkungan jika dibanding dengan pupuk sintetis buatan pabrik, namun jika petani tetap harus membeli, petani tetap tidak mandiri. Belum lagi maraknya pemalsuan pupuk, atau sertifikasi produk organik yang hampir belum ada pengawasannya. 

Jalan yang harus ditempuh oleh petani -- dan ini langkah yang tidak bisa dikompromi, adalah mereka harus mampu menyediakan secara mandiri seluruh sarana produksi, mulai dari penyediaan benih lokal, serta penyediaan pupuk, insektisida, herbisida organik yang berasal dari sumber daya alam setempat. 

Petani juga harus kembali menggunakan alat-alat pertanian seperti sabit, cangkul, mata bajak yang ditarik ternak sapi atau kerbau dalam mengolah tanah, daripada menggunakan traktor yang berat yang mengakibatkan tanah menjadi padat atau pejal. Ternak selain tenaga dan kotorannya dimanfaatkan, juga merupakan sumber protein bagi keluarga. Selain itu ternak bagi petani merupakan merupakan jenis tabungan atau aset yang mudah dicairkan. 

Kedua, mengenai Manajemen Usaha Tani. Generasi petani sekarang tidak memiliki kemampuan mengelola usaha pertaniannya. Mereka hampir tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam membuat perencanaan, dari tahap produksi hingga pemasaran. Penentuan jenis komoditi yang dibudidayakan tidak didasarkan dari survey pasar, artinya belum memiliki orientasi memproduksi komoditi sesuai yang diinginkan pasar atau konsumen. Ditambah pengetahuan dan ketrampilan dalam membudidayakan komoditi juga rendah. Akibatnya seringkali setelah panen, komoditi mereka tidak diterima pasar, bisa karena mutunya rendah, atau kalau kebetulan mutunya baik tapi over produksi sehingga harganya terjun bebas. Padahal dalam ilmu manajemen, perencanaan (planning) wajib hukumnya! 

Petani belum bisa memenuhi tuntutan pasar: 4 K, kualitas, kuantitas, Kontinuitas, dan Kepercayaan. Maka mulai sekarang, petani harus berani untuk belajar ! Berikutnya, generasi petani kita saat ini tidak memiliki otoritas dalam menentukan harga komoditas yang mereka hasilkan. Ketika panen mereka justru bertanya kepada pedagang, berapa harga beras saya ? begitu juga dengan komoditi singkong, jagung, kedelai, kakao dan seterusnya.

Ketiga, adalah mengenai manajemen Organisasi. Kembali menurut ilmu manajemen, setelah perencanaan dilakukan, perlu dimantapkan dengan melakukan pengorganisasian (organizing). Petani harus berani jujur mengakui keterbatasannya sebagai individu, maka harus mau bersatu – dengan jalan berkelompok. Didalam kelompok inilah dilakukan perencanaan produksi, baik mengenai jenis komoditi maupun luasan lahan (nantinya berkaitan dengan volume yang dihasilkan) hingga melakukan pemasaran secara bersama -secara kelompok bahkan asosiasi. 

Dengan pemasaran bersama, maka posisi tawar petani meningkat, dan menjadi sejajar dengan pedangang! Petani perlu uang - pedagang perlu barang, suatu simbiosis mutualisme, dimana dapat disepakati harga komoditi yang adil sesuai dengan kualitas komoditi. Sedangkan pada tingkatan off - farm, pengetahuan dan ketrampilan generasi petani kita dalam mengelola komoditi sejak keluar dari lahan juga masih rendah. Kasus yang sering terjadi, dengan budidaya yang tanpa perencanaan produksi, maka harga komoditi terjun bebas. Namun dengan berkelompok, petani selain melakukan perencanaan produksi dan pemasaran bersama, bisa juga mengatasi harga yang anjlog tadi. Pertama, melakukan penanganan paska-panen dengan benar untuk menjaga kualitas komoditi. Kualitas yang baik akan mendongkrak harga komoditi. 

Kedua, pada saat harga rendah, petani melakukan penyimpanan komoditi kelompok dengan benar secara bersama, sehingga kualitasnya tetap terjaga, baru setelah harganya tinggi barang dilepas ke pasaran. 

Ketiga, petani dapat mengupayakan pengolahan komoditi menjadi produk, untuk meningkatkan nilai atau harga komoditi. Misalnya mengolah singkong menjadi gaplek atau tepung atau menjadi makanan, bahkan menjadi bio-diesel. Jagung dapat diolah menjadi makanan ternak, maupun makanan manusia. Jahe, kunir, temulawak dan jenis empon-empon lain dapat diolah menjadi produk minuman instan yang menyehatkan. Cabai, rempah, atau sayur-mayur dapat diolah menjadi bumbu siap saji yang memiliki kandungan gizi lengkap untuk keluarga. 

Keempat, generasi petani sekarang tidak lagi mempunyai lahan yang luas untuk melakukan usahanya. Maka selain harus kreatif & inovatif, petani harus mampu melakukan lobby atau negosiasi dengan pemerintah dan stakeholder lain, seperti asosiasi profesi lain, atau ormas lain untuk memperjuangkan landreform di wilayahnya. Kelima, petani tidak memiliki kebanggaan akan profesinya, serta komoditi yang dihasilkannya, mulai secara fanatik menggunakan produknya, dan menolak produk sejenis yang berasal dari luar wilayahnya. 

Petani Bermartabat & Sejahtera
Seandainya petani mau bersatu, maka akan menjadi satu kekuatan dasyat yang sulit dicari tandingannya. Perlu diingat, solusi alternatif yang ditawarkan di atas, hanya bisa berhasil jika petani berjuang secara terorganisisr dan sistematis. Perjuangan membutuhkan pengorbanan di muka, dan buah manisnya baru bisa dicecap belakangan. Maka konsisten pada tujuan perjuangan adalah keharusan. Nyalakanlah terus harapan di hati untuk menjadi manusia yang mandiri, lebih bermartabat dan sejahtera.
Nasibmu ada ditanganmu, bersatu & bergeraklah !

Artikel selanjutnya : Permakultur Bukan Sekedar Pertanian Organik

Demikian catatan saya tentang Jalan Sunyi Petani, semoga bermanfaat.


Thomas Pras, 15 Maret 2008.

*) Artikel ini pernah dimuat di Harian Lampung Post, dan diposting di Kompasiana.

Title: Jalan Sunyi Petani; Written by Thomas Prasasti; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar