Upaya Pemulihan Kepercayaan Diri Para Petani

Demo Petani : Turunkan Harga Pupuk !  Sumber : news.liputan6


Sepenggal Cerita Tentang Petani
Pada pertengahan tahun 2008, dalam pertemuan Kelompok Tani gabungan dari 2 Kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang yang hendak membentuk 'Federasi', dalam sesi 'Fokus Diskusi tentang Budidaya' teman-teman petani curhat mengenai tingginya harga pupuk, dan sering terjadinya kelangkaan pupuk.

Bukannya menjawab, saya justru bertanya balik : Lho, kenapa beli ? ... memangnya siapa yang nyuruh atau mewajibkan ?!”.

Sebagian menggerutu dengan mengatakan "Kalau nggak dipupuk ya nggak mungkin panen Pak". 

Saya tau mereka agak kesal karena menganggap saya main-main, namun sejenak saya sengaja tidak peduli.

Saya kembali bertanya : ”Pohon di hutan tumbuh subur dan besar nggak Pak ?!
Seorang petani Tua yang saya tau di saat mudanya pernah ikut membuka hutan alami menjawab: "Ya besar-besar Pak, namanya aja hutan" ...
"Kok bisa besar-besar, memangnya pohon di hutan ada yang mupuk Pak ... Kalau ada siapa ?! ... manusia atau monyet kah ?!”. 


Seorang Peserta lain menjawab dengan ketus dan keras : "Ya beda dong Pak, pohon di hutan dan padi di sawah"

"Memangnya bedanya di mana Pak ?!" tanya saya dengan suara yang tak kalah keras.


Terjadi debat dan dengan tensi yang semakin tinggi.
Suasana yang sepertinya baru sekali ini mereka alami, dan belum pernah terjadi selama mereka terlibat dalam pertemuan-pertemuan Kelompok Tani.

Memang itu yang saya harapkan !
Setelah tensi tinggi, perhatian forum akan mulai terfokus kepada saya -- meskipun dengan sedikit rasa marah di sana .

Kalau itu sudah terjadi, tugas saya selanjutnya tinggal menetralisir emosi negatifnya.
Maka saya sengaja diam sekitar 2-3 menit ... menunduk.

Suasana hening.
Masing-masing peserta sepertinya sibuk dengan pikirannya,
masing-masing sibuk meredam rasa yang mengganjal di dada.

Lalu saya berkata dengan suara rendah dan pelan:
"Bapak-Ibu, ... saudara-saudari sekalian.  Kita semua tau, pohon di hutan tidak ada yang memupuk, tapi tumbuh subur.
Sebab penghuni hutan identik dengan para monyet, mungkin di antara Sampean ada yang tersinggung ketika saya ajak membandingkan tanaman di hutan dan padi di sawah kita, ... untuk itu saya minta maaf"

"Tujuan saya berada di sini bukan untuk mencari musuh, bukan hendak menyinggung Bapak-Ibu sekalian, tapi untuk mencari jalan keluar bersama atas permasalahan yang Bapak-bapak hadapi, yang Sampean keluhkan tadi".

"Gimana, mau Pak, Bu" ?!
"Ya mau Pak, masak nggak mau masalahnya selesai ... memang itu yang kami cari" Jawab seorang Petani Muda.

Baik, sekarang saya minta jawaban jujur dari Sampean semua:"Apakah ada yang pernah menanam padi tanpa menggunakan pupuk dari beli" ?!

Seorang Petani sepuh mengacungkan jari dan langsung menjawab "Pernah Pak, tapi sudah lama sekali" ...

"Gimana Pak hasilnya, waktu dulu itu panen tidak  ... sae mboten panen-e" ?!
"Panen Pak, nggih normal sae"

Saya perhatikan beberapa Petani muda saling pandang.  Entah apa yang ada di benak mereka.
Yang jelas target awal saya tercapai: Ada pernyataan dari petani sendiri, bahwa bertani bisa dilakukan meski tanpa membeli pupuk !




Mengembalikan Ingatan Petani
Sepenggal dialog tadi merupakan gambaran, betapa para petani kita tidak menyadari potensi yang dimilikinya. Mereka mengalami semacam krisis kepercayaan diri. Kebanyakan petani akan memberi embel-embel kata ‘ hanya ‘ jika ditanya tentang profesinya mereka – sama sekali tidak tersirat adanya rasa percaya diri, apalagi bangga.

Fakta di atas merupakan tantangan bagi mereka yang terpanggil untuk mendampingi para petani – yang seharusnya dihidupi pula oleh mereka yang mengemban amanat di departemen atau dinas terkait. Langkah awal yang tidak mudah -- karena tidak akan berhasil dengan cara-cara yang birokratis dan pola top-down -- adalah untuk mengubah sikap diam dan rasa tidak berdaya dari para petani dalam menghadapi permasalahannya. Maka langkah pertama yang perlu dilakukan sebagai ‘pendamping’ adalah memulihkan kepercayaan diri serta menyadarkan mereka akan potensinya, sebab tanpa kepercayaan diri orang akan gagal sebelum berjuang.

Melalui proses penggalian – yang tidak cukup dengan satu atau dua kali pertemuan – akhirnya teman-teman petani sadar bahwa sebenarnya mereka memiliki pengetahuan dan ketrampilan, hanya terkadang tidak lengkap. Padahal ketika informasi dari beberapa petani yang masih satu kelompok tadi digabungkan, ibarat puzle akan terbentuk satu gambar yang lebih sempurna. Jadi kuncinya adalah soal komunikasi di antara mereka.

Setelah itu dengan sendirinya tumbuh rasa perlu untuk bertemu secara rutin dalam rangka saling tukar informasi, untuk memecahkan berbagai masalah yang mereka hadapi, dan dimulailah babak baru: Petani mengorganisir dirinya.

Setelah berkumpul dan berkomunikasi, maka jawaban pertanyaan yang saya lontarkan di atas, tidak lagi didominasi jawaban ”tidak mungkin atau mustahil bertani jika tanpa membeli pupuk atau benih”, tapi diganti dengan jawaban semacam:”saya rasa bisa, karena seingat saya, kakek dulu selalu membuat sendiri benih padinya" 
"Betul, Kakek ku juga hanya memupuk sawahnya dengan pupuk dari kotoran kerbaunya".


Para petani menjadi surprise – menemukan sesuatu dalam dirinya : “Wow, ternyata saya tahu, ternyata kita bisa ! “.

Relevan sekali nasehat bijak dari China, bahwa untuk memberdayakan masyarakat – dalam hal ini petani – kita perlu hidup dan tinggal sebagai bagian dari mereka, mendengarkan cerita dari mereka, kemudian memotivasi mereka melakukan suatu aksi, dan ketika mereka berhasil, dengan bangga mereka akan berkata : “ini hasil karya kami “.



Kreatifitas Petani Jangan Dimatikan
Salah satu penyebab ketidakberdayaan petani adalah ketidakkonsistenan pemerintah. Sebagai contoh, adalah Undang-undang No. 56 tahun 1960 tentang Landreform, yang hingga kini nasibnya masih menggantung ; tidak dihapus tapi hingga kini juga belum terealisasi – padahal kita semua tahu banyak petani tanpa lahan yang sangat membutuhkan lahan.

Nasib pahit juga pernah dirasakan sekelompok petani di Kediri yang berhasil memperoleh benih jagung yang berkualitas dengan cara menyilangkan beberapa varietas. Dengan mutu sebanding, mereka menjual temuan mereka kepada petani lain dengan harga Rp. 15.000,-/kg – jauh lebih murah dari harga benih dari perusahaan swasta yang dibandrol seharga Rp. 50.000,-/kg.. Akibatnya mereka dilaporkan karyawan lapangan salah satu perusahaan swasta penghasil benih ke pihak kepolisian dengan alasan melakukan tindak pidana menyuruh dan melakukan pembenihan tanaman jagung varietas yang di kembangkan perusahaan swasta tersebut secara tanpa hak (Eco-justice, edisi 29 Januari 2007).

Pertanyaan buat pemerintah : Bagaimana petani bisa maju jika kreatifitas mereka dibelenggu dengan teror semacam itu ?!



Menumbuhkan Relasi Fungsional
Otonomi daerah lahir dari prinsip subsidiaritas untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka seharusnya relasi formil antara pemerintah - masyarakat perlu dirubah, jangan lagi sebagai ‘atasan – bawahan’, namun lebih kepada fungsi yang saling melengkapi dan menyempurnakan.

Agar dapat bekerja sebagai tim yang solid dan dinamis, perlu pembagian peran yang jelas : siapa mengerjakan apa, kapan, dimana dan bagaimana – tentunya dengan memperhatikan kemampuan dan minat masing-masing.



Petani Pengusaha, Petani Otonom
Dalam membangun kemandirian petani, pemerintah ‘hanya’ perlu membangkitkan potensi yang ada dalam diri petani. Secara konkrit, pemerintah ‘tinggal’ mengajak para petani untuk mengingat dan mempraktekkan kembali cara membuat pupuk dan insektisida dari bahan-bahan yang ada di sekitarnya. Menyiapkan secara mandiri benih lokal yang terbukti mampu beradaptasi baik dengan kondisi lingkungan setempat, mengolah tanah menggunakan cangkul atau mata bajak yang ditarik ternak, dan membiarkan sebagian lahannya ditumbuhi pepohonan yang berfunsi sebagai cagar mata air.

Selain itu perlu mengingatkan petani bahwa petani adalah enterpreneur, pengusaha, sehingga perlu menerapkan prinsip : kalau bisa bisa gratis, ngapain beli; kalau bisa murah, kenapa harus mahal ?!. Bukan mengajarkan pelit, namun mengajak petani untuk berfikir kreatif : bagaimana suatu hal bisa memberi manfaat lebih banyak, atau bahkan memanfatkan benda yang semula justru merugikan.

Misal dalam mengatasi persoalan gulma. Tidak perlu bergantung pada herbisida sitetis buatan pabrik yang mengasilkan ketergantungan, bisa kok lewat merubah cara pandang terhadap gulma: dari sesuatu yang merugikan menjadi berkah terselubung. Sebagian gulma dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak, sehingga selain membebaskan tanaman dari gangguan, juga menekan biaya pemeliharaan ternak. Dengan makanan tadi, ternak akan tumbuh makin besar dan dapat menghasilkan daging, telur, susu, atau dimanfaatkan tenaganya. Selanjutnya gulma yang di makan oleh ternak dirubah menjadi kotoran padat dan atau cair, dan petani dapat mengolahnya menjadi pupuk, insektisida, dan herbisida yang aman bagi kelangsungan lahan, artinya biaya produksi budidaya turun dan masalah selesai.



Jika di artikel sebelumnya saya menuliskan : Kapankah pemerintah dan semua pihak yang mengaku berpihak pada para petani ‘berani’ berjuang melalui 'jalan sunyi' – tanpa pengumuman dan tepuk tangan – seperti biji bertunas yang hampir tanpa bunyi, dan tumbuh tanpa menunggu satupun saksi ?!

Di sini,
Saya ingin menuliskan bahwa Bertani hendaknya adalah pilihan pribadi dan merdeka.  Merdeka dalam arti tidak hanya lepas dari keterjajahan pihak lain, tapi sekaligus juga merdeka dari ketergantungan terhadap pihak lain.
Maka,
Pertanyaan renungan kini ganti saya lontarkan  kepada Sobat Petani : sampai kapan akan terus menggantungkan nasib kepada pihak lain ?!



Demikian artikel Upaya Pemulihan Kepercayaan Diri Para Petani ini, semoga bermanfaat..



Salam Revolusi, Salam Tani,





Thomas Pras. 18 Desember 2008
Title: Upaya Pemulihan Kepercayaan Diri Para Petani; Written by Thomas Prasasti; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar